Beberapa catatan dalam pengelolaan jurnal OA
Menghindari mengejar indexing dari lembaga komersial sebagai tujuan utama
Dari sisi pengelola jurnal. Saat ini banyak sekali
indexing yang dapat dipilih, alih-alih hanya mengejar
indexing arus utama, seperti
Scopus ataupun
Web of Science. Para pengelola jurnal kami tekankan agar tidak hanya mengejar salah satu atau keduanya saja. Berikut ini beberapa pertimbangan mengapa kami agak keras tentang hal ini:
- Meningkatkan biaya publikasi: Indexing oleh lembaga-lembaga komersial akan menambah komponen biaya yang tidak perlu dalam penerbitan makalah atau jurnal. Contoh: saat ini konferensi atau seminar yang terindeks Scopus meminta biaya konferensi (conference fee) rata-rata tidak kurang dari Rp. 3.000.000,-. Dengan biaya sebesar itu, maka berat bagi kaum mahasiswa (S1, S2, S3) sebagai komponen akademia yang paling membutuhkan dan juga menjadi penulis.
- Sering terjadi kesalahan dalam memasang portal paywall: Berkaitan dengan butir ke-1, pada beberapa kasus (dan ini sering terjadi), lembaga pengindeks tersebut memasang portal paywall (portal pembayaran) untuk makalah yang semestinya berstatus OA. Bila kita telah membayar biaya publikasi atau disebut juga article processing cost (APC), maka mestinya dokumen kita akan berstatus OA. Pembaca tidak akan ditarik biaya.
- Menambah waktu publikasi: Kalau anda mengejar indeks ini, maka makalah yang dipublikasikan harus dalam Bahasa Inggris. Tanpa adanya tim translator dan proof reader, kondisi ini akan menambah durasi proses makalah, yakni di tahap review dan penyuntingan. Maka makalah baru akan termuat resmi dalam laman indexing rata-rata enam sampai delapan bulan sejak pengiriman makalah ke jurnal atau panitia seminar (submission) atau bahkan sejak makalah dipresentasikan dalam seminar.
- Syarat yang diajukan adalah syarat umum: sebenarnya syarat yang diajukan oleh kedua lembaga pengindeks tersebut di atas akan sama dengan syarat yang diajukan oleh lembaga lainnya. Tidak ada syarat khusus yang diajukan. Dalam beberapa sisi, justru lembaga akreditasi jurnal di Indonesia memiliki syarat lebih banyak dan ketat.
- Kekhawatiran berlebihan bahwa makalah atau jurnal tidak akan muncul dalam mesin pencari (search engine): Kekhawatiran ini sudah tidak relevan, karena apapun yang sifatnya telah daring (online), maka dapat dicari oleh bot mesin pencari.
Sampai saat ini, bahkan
Google Scholar dan
Microsoft Academic pun masih digunakan oleh Pemerintah Indonesia sebagai alat ukur kinerja riset. Bahkan pada akhir-akhir ini, kedua indeks terbuka tersebut telah diakui sebagai ciri jurnal bereputasi (
Permenristekdikti No. 20/2017,
lampiran, dan
juknisnya).
Anne-Wil Harzing, pembuat piranti lunak
Publish or Perish yang menggunakan basis data Google Scholar, menyatakan bahwa Google Scholar menjadi alternatif (pesaing) serius bagi Web of Science
\cite{Impactof84:online}. Artikel tersebut meluruskan berbagai persepsi yang salah tentang Google Scholar. Lebih ekstrim lagi, ada pandangan yang menyatakan bahwa sains adalah miliki komunitas dan masyarakat jadi tidak sepantasnya diatur-atur oleh aturan eksklusif sebuah jurnal dengan alasan untuk menjaga kualitas
\cite{Medicalr0:online}.
Science should not, and need not, be shackled by journal publication. Three sensible reforms would ensure that researchers’ results could be communicated to more people more quickly, without any compromise on quality...\cite{Medicalr0:online}
Salah satu
indexing yang sedang mengemuka adalah
indexing oleh
ScienceOpen (SO), sebuah perusahaan yang berbasis di Jerman. SO indexing mengutamakan untuk bekerjasama dengan penerbit jurnal OA. Mereka menggunakan
Altmetric sebagai ukuran reputasi atau dampak dari suatu makalah. Selain itu, kami juga merekomendasikan
indexing oleh
Pubmed Central (PMC), sebuah indeks yang awalnya dibuat untuk bidang ilmu kedokteran dan kesehatan.
Meningkatkan pembaca dari "English speaking countries"
Salah satu yang menjadi isu besar di Indonesia sebagai non-English speaking country adalah penting atau tidaknya menulis dalam Bahasa Inggris. Kalau menulis dalam Bahasa Inggris masih sulit, dan akhirnya terjebak dalam "jurnal meragukan" agar cepat terbit, kenapa tidak menulis dalam Bahasa Indonesia. Dengan menggunakan Bahasa Ibu, maka riset dapat ditulis dengan sebaik-baiknya, dan dijelaskan dengan sejelas-jelasnya.
Lantas bagaimana dengan pembaca dari negara selain Indonesia? Untuk hal ini kami memang baru berhipotesis, karena belum pernah melakukan riset secara langsung. Menurut kami, para pembaca asing pastinya akan mencari sebanak-banyaknya makalah yang relevan dengan subyek dan terutama dengan lokasi risetnya. Jadi bila mereka akan meneliti di suatu lokasi di Indonesia, mereka sadar bahwa besar kemungkinan harus mencari makalah dalam Bahasa Indonesia. Karena itu usulan kami untuk pengelola jurnal berbahasa Indonesia, wajibkan bagi para penulis yang makalahnya telah diterima untuk:
- membuat slide dalam Bahasa Inggris untuk menceritakan makalahnya secara singkat. Slide ini terutama berisi gambar-gambar dan tabel.
- memuat data mentah sebagai lampiran (supplementary electronic data) atau mendorong mereka untuk mengunggah data di repository terbuka seperti OSF, Figshare, atau Zenodo. Untuk bidang ilmu kebumian dapat memanfaatkan server repositori Pangaea.
- menggunakan judul dan abstrak yang memuat identitas lokasi, setidaknya nama kabupaten dan "Indonesia" \cite{WTFBagai42:online}.
Menghindari kriteria jurnal meragukan
Dalam pengelolaannya, jurnal-jurnal OA ini walaupun belum dapat menyamai kinerja jurnal-jurnal berusia dewasa (baca: jurnal lama) di luar negeri tapi hal yang perlu dijaga adalah agar tidak menjadi jurnal yang meragukan (questionable journal). Mengingat sudah muncul persepsi di dunia internasional bahwa banyak jurnal meragukan diterbitkan di benua Asia \cite{jisc_econ_impact}.